Sambil menikmati minum teh disaat sakit kepalaku datang, Qistina anak keduaku datang sambil bawa baju ganti TPA-nya. Tiba-tiba dia nyletuk, “aku nggak takut sama setan, tapi takut sama Allah”. “baik”, jawabku. “tinggal belajar dan baca do’a, setan langsung takut”, tambahnya. “baik”, jawabku sambil senyum simpul. "kenapa kok hanya senyum aja ?", protesnya, "nggak papa", jawabku.
Tidak ada yang salah dengan celotehan anaku, dan jawaban singkatku serta senyum simpulku menunjukan ketidakmampuanku untuk menjawab. Aku hanya bisa bicara di dalam hati saja, “Tidak ada yang salah dengan apa yang kamu omongkan anaku, tapi dalam kenyataan hidup tidak semudah apa yang kamu ucapkan”. Dalam kehidupan orang dewasa, setan ada dimana-mana, menyatu dengan kehidupan dunia. Pengetahuan tentang norma-norma kebenaran saja rasanya tidaklah cukup untuk bisa menghindarkan seseorang dari godaan dan tipuan setan. Dan ini bukan katanya tapi kenyataan hidup hampir setiap manusia.
Saat aku dengar seorang ustadz muda di TV, mengatakan, “jangan takut dengan setan dan takutlah kepada Allah”, aku tersenyum teringat celotehan anaku.
Agama tidak untuk dibicarakan tapi untuk dijalani. Dan hanya kemurahan Tuhan saja yang menjadikan seseorang mampu menjalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar