Dan sungaipun bertanya kepada Angin, " siapa gerangan yang menjadi kekasihmu ?. Dan dengan sebab apa kincir menjadi kekasihmu, sehingga engkau lekatkan nama besarmu padanya ?”
"Bagaimana aku bisa yakin bahwa itu benar?"
"Kalau kamu tak mempercayain, kamu hanya akan menjadi paya- paya; dan menjadi paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun berpuluh tahun.
Dan paya-paya itu jelas tak sama dengan sungai, bukan?"
"Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama dengan keadaanku kini?"
"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan bisa tetap berupa dirimu kini," bisik suara itu.
"Bagian intimu terbawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti.
Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."
Mendengar hal itu, dalam pikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika ia --atau bagian dirinya ? --berada dalam pelukan angin.
Ia juga ingat-- benar demikiankah? bahwa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.
Dan sungai itu pun membubungkan uapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya,
lalu membiarkannya merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung –nun disana yang tak terkira jauhnya.
Dan karena pernah meragukan kebenarannya, sungai itu kini bisa mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci.
Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya.", bisik Sungai Kehidupan.
Bandung, 17 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar